KAPITALISME: SERING TERDENGAR, TAK BANYAK YANG PAHAM
Kapitalisme adalah satu kata yang kerap muncul dalam berbagai ruang. Namun, ternyata ini menyedihkan bagi banyak orang, kapitalisme sekadar kata yang memiliki bunyi. Maknanya jauh masih di awang sana.
Kapitalisme
Kapital berasal dari kata Latin caput yang berarti “kepala”.Arti ini menjadi jelas, misalnya dalam istilah “pendapatan per kapita” pendapatan per kepala. Juga masih konsisten, ketika dipakai untuk, misalnya capital city kota utama. Apa hubungannya dengan “capital” yang lain yang sering kita terjemahkan sebagai “modal”? Konon kekayaan penduduk Romawi kuno diukur oleh berapa kepala hewan ternak yang ia miliki.1 Semakin banyak caput-nya, semakin sejahtera. Tidak mengherankan, jika kemudian mereka “mengumpulkan” sebanyak-banyaknya caput.Sekarang jelas sudah, mengapa kita menterjemahkan capital sebagai “modal”.
Dalam berbagai paparan teoritis, kolonialisme, imperialisme, kapitalisme, dan globalisasi merupakan fenomena-fenomena yang terkait.Imperialisme berarti politik untuk menguasai (dengan paksaan) seluruh dunia untuk kepentingan diri sendiri yang dibentuk sebagai imperium. Menguasai di sini tidak berarti merebut dengan kekuasaan senjata, tetapi dapat dijalankan dengan kekuatan ekonomi, kultur, agama, dan ideologi, asalkan dengan paksaan.
Dalam definisi lain, imperialisme dikatakan sebagai upaya perluasan dengan paksaan wilayah satu negara dengan melakukan penaklukan teritorial yang menjadi dasar pembentukan dominasi politik dan ekonomi terhadap negara-negara lain yang bukan merupakan koloninya (http://en.wikipedia.org/wiki/Imperialism). Dalam semua definisi imperialisme, ada beberapa konsep yang selalu muncul: perluasan wilayah, penguasaan atau dominasi dengan paksaan (koersi), dan dominasi politik, budaya, serta ekonomi.
V.I. Lenin menyatakan bahwa bahwa kapitalisme mencakup kapitalisme monopoli sebagai imperialisme untuk menemukan bisnis dan sumber daya baru (Lenin, 1916 dalam http://www.marxist.org). Definisi Lenin, “the highest stage of capitalism” mengacu pada saat ketika monopoli kapital finansial mendominasi, memaksa negara dan korporasi swasta bersaing untuk mengontrol sumber daya alam dan pasar.
Karl Marx juga mengidentifikasi kolonialisme sebagai salah satu aspek prahistori moda produksi kapitalis.Selain itu, teori imperialisme Marxist, dan teori dependensi yang terkait, menekankan pada hubungan ekonomi antarnegara (dan di dalam negara-negara), alih-alih hubungan formal politik dan militer. Dengan begitu, imperialisme tidak selalu berupa satu hubungan kontrol yang formal satu negara atas negara lain, melainkan eksploitasi ekonomi satu negara atas negara lain.
Dalam periodisasi yang lazim, imperialisme dibagi menjadi dua periode.Yang pertama adalah imperialisme kuno atau (ancient imperialism), yang intinya adalah prinsip gold, gospel, dan glory.Imperialisme ini berlangsung sebelum revolusi industri dan dipelopori oleh Spanyol dan Portugis.Periode kedua adalah imperialisme modern, yang intinya adalah kemajuan ekonomi.Imperialisme modern muncul sesudah revolusi industri.Industri besar-besaran membutuhkan banyak bahan mentah dan pasar yang luas.Para imperialis mencari jajahan untuk dijadikan sumber bahan mentah dan pasar bagi hasil-hasil industri kemudian juga sebagai tempat penanaman modal bagi surplus kapitalis (http://id.wikipedia.org/wiki/Imperialisme).
Unsur selanjutnya adalah kolonialisme.Kolonialisme merupakan pengembangan kekuasaan sebuah negara atas wilayah dan manusia di luar batas negaranya, seringkali untuk mencari dominasi ekonomi dari sumber daya, tenaga kerja, dan pasar wilayah tersebut (http://id.wikipedia.org/wiki/Kolonialisme). Definisi kolonialisme menyatakan bahwa kolonialisme merupakan satu praktik dominasi yang melibatkan subjugasi satu orang terhadap yang lain.
Seperti imperialisme, kolonialisme juga melibatkan kontrol politik dan ekonomi terhadap satu teritori yang dependen.Kolonialisme sangat sulit dibedakan dari imperialisme.Satu-satunya perbedaan hanya dapat dilihat dari etimologi kedua konsep tersebut.Istilah koloni berasal dari kata Latin colonus, yang berarti ‘petani’. Ini mengingatkan kita pada praktik kolonialisme yang biasanya melibatkan proses pemindahan populasi ke satu wilayah, di mana mereka akan tinggal di tempat tersebut secara permanen dan tetap mempertahankan afiliasi politik dengan negara asalnya. Di sisi lain, imperialisme berasal dari kata Latin imperium, yang berarti ‘memerintah’. Dengan demikian, imperialisme lebih merupakan cara bagaimana satu negara menjalankan kekuasaan atas negara lain, apakah melalui pembentukan koloni, kemakmuran, atau mekanisme kontrol tak langsung (http://plato.stanford.edi/entries/colonialism).
Sementara itu, kapitalisme secara umum mengacu pada satu sistem ekonomi yang di dalamnya semua atau sebagian besar alat-alat produksi dimiliki secara privat dan dioperasikan demi keuntungan (http://en.wikipedia.org/wiki/Capitalism).Selain itu, dalam sistem ini, investasi, distribusi, pendapatan, produksi, dan penentuan harga barang-barang dan jasa ditentukan melalui operasi ekonomi pasar.Kapitalisme biasanya melibatkan hak-hak individu dan sekelompok individu yang berperan sebagai “orang-orang legal” atau korporasi-korporasi yang memperdagangkan barang-barang kapital, buruh, dan uang.
Ada beberapa pengertian lain soal kapitalisme. Yang pertama adalah bahwa kapitalisme merupakan sebuah sistem yang mulai terinstitusi di Eropa pada masa abad ke-16 hingga abad ke-19–yaitu di masa perkembangan perbankan komersial Eropa, di mana sekelompok individu maupun kelompok dapat bertindak sebagai suatu badan tertentu yang dapat memiliki maupun melakukan perdagangan benda milik pribadi, terutama barang modal seperti tanah dan tenaga manusia, pada sebuah pasar bebas di mana harga ditentukan oleh permintaan dan penawaran, demi menghasilkan keuntungan di mana statusnya dilindungi oleh negara melalui hak pemilikan serta tunduk kepada hukum negara atau kepada pihak yang sudah terikat kontrak yang telah disusun secara jelas kewajibannya baik eksplisit maupun implisit serta tidak semata-mata tergantung pada kewajiban dan perlindungan yang diberikan oleh kepenguasaan feodal.
Yang kedua, kapitalisme adalah teori yang saling bersaing yang berkembang pada abad ke-19 dalam konteks Revolusi Industri, dan abad ke-20 dalam konteks Perang Dingin, yang berkeinginan untuk membenarkan kepemilikan modal, untuk menjelaskan pengoperasian pasar semacam itu, dan untuk membimbing penggunaan atau penghapusan peraturan pemerintah mengenai hak milik dan pasaran. Ketiga, kapitalisme dianggap sebagai suatu keyakinan mengenai keuntungan dari menjalankan hal-hal semacam itu. Keempat, kapitalisme adalah suatu sistem ekonomi yang mengatur proses produksi dan pendistribusian barang dan jasa dengan ciri-ciri: sebagian besar sarana produksi dan distribusi dimiliki oleh individu; barang dan jasa diperdagangkan di pasar bebas (free market) yang bersifat kompetitif; dan modal kapital (baik uang maupun kekayaan lain) diinvestasikan ke dalam berbagai usaha untuk menghasilkan laba (profit).
Nicholas Garnham dalam Capitalism and Communication: Global Culture and the Economics of Information mendefinisikan kapitalisme sebagai “a mode of social organization characterized by the domination of exchange relation”. Lebih jauh lagi, Garnham menegaskan bahwa hubungan partikular antara yang abstrak dan yang konkret, atau antara gagasan-gagasan dan hal-hal, yang relevan bagi materialisme historis sebagai satu moda analisis kapitalisme, berakar pada hubungan nyata antara yang abstrak (relasi pertukaran) dan yang konkret (pengalaman hidup individu, tenaga kerja, dsb.)(Garnham, 1990:22).
Ada beberapa elemen kunci yang kerap disebut dalam pendefinisian kapitalisme: sistem, modal (kapital), kepemilikan individu, proses produksi, kompetisi, pasar bebas, investasi, dan profit. Kata-kata kunci ini menjadi faktor determinan dalam implikasi-implikasi praktis operasi kapitalisme dan itu akan terlihat dalam sejarah panjang perkembangan kapitalisme.
Pada umumnya para sejarawan ekonomi sepakat bahwa kapitalisme sebagai moda pengorganisasian kehidupan sosial dan ekonomi tidak hanya dimulai di satu tempat di dunia, dalam hal ini Eropa Barat Laut, melainkan sejak tahap sangat awal, ketika masih dalam proses pembentukan pada abad ke-16, yang melibatkan ekspansi ke luar yang secara bertahap melintasi wilayah-wilayah yang kian luas di dunia dalam satu jaringan pertukaran materi. Jaringan pertukaran materi ini seiring waktu berkembang menjadi pasar dunia bagi barang-barang dan jasa, atau bagi pembagian kerja internasional (division of labour).Pada akhir abad ke-19, proyek satu ekonomi dunia yang kapitalistik telah terbangun dalam arti bahwa lingkup hubungan-hubungan mencakup semua wilayah geografis dunia (Hoogvelt, 1997: 14).
Abad ke-19 secara khusus mencuat sebagai waktu utama perkembangan pembagian kerja internasional. Diperkirakan bahwa dalam tiap dekade pada abad ke-19, perdagangan dunia tumbuh 11 kali lebih cepat dari produksi dunia, dan pada 1913, saat Perang Dunia I, 33 persen produksi dunia diperdagangkan di luar batas nasional negara-negara (Horvat, 1968:611 dalam Hoogvelt, 1997: 14).
Ini sejalan dengan yang diungkapkan George Ritzer dalam Modern Sociological Theory (1996). Ritzer menyatakan bahwa Revolusi Industri yang terjadi hampir di seluruh masyarakat Barat, terutama pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 bersama berbagai perkembangan yang terkulminasi menjadi transformasi dunia Barat dari masyarakat agriluktur menjadi satu sistem masyarakat Industri–memunculkan satu sistem masyarakat di mana muncul birokrasi ekonomi yang besar untuk melayani banyak kebutuhan industri dan sistem ekonomi kapitalis yang baru muncul. Sasaran ideal dari sistem kapitalisme ini adalah pasar bebas, di mana berbagai produk industri dapat ditransaksikan (Ritzer, 1996: 6-7).Bagian dari dunia yang kini disebut sebagai Dunia Ketiga, yakni Amerika Selatan, Afrika, Asia–terkecuali Jepang–, berpartisipasi secara penuh dalam pasar internasional.Pada 1913, Dunia Ketiga menangkap 50 persen pasar dunia (bandingkan dengan 22 persen saat ini) (Mun, 1928:5 dalam Hoogvelt, 1997:14).
Praktik ekonomi kapitalistik terinstitusional di Eropa antara abad ke-16 dan ke-19 dan bentuk awal kapitalisme perdagangan (merchant capitalism) berkembang pada Abad Pertengahan.Menurunnya feodalisme pada saat itu mengikis kekangan politis dan religius tradisional dalam pertukaran-pertukaran kapitalis. Hal-hal yang menyulitkan terjadinya akumulasi kapital–seperti tradisi dan kontrol, aturan-aturan aristokrasi, yang mengambil alih kapital melalui denda secara sewenang-wenang, dan pajak, pada abad ke-18–berhasil diatasi dan kapitalisme menjadi sistem ekonomi yang dominan di United Kingdom dan pada abad ke-19 kapitalisme menjadi sistem ekonomi dominan di Eropa. Setelah menguasai Eropa, kapitalisme secara bertahap menyebar dari Eropa, khususnya dari Britania, melintasi batas-batas politik dan budaya.Pada abad ke-19 dan 20, kapitalisme menyediakan perangkat-perangkat utama industrialisasi ke sebagian besar penjuru dunia (http://en.wikipedia.org/wiki/Capitalism).
Periode awal kapitalisme atau merchant capitalism atau merkantilisme ini juga disebut sebagai kapitalisme perdagangan.Periode ini dikaitkan dengan penemuan-penemuan oleh pedagang-pedagang lintasnegara–terutama dari Inggris dan Negara-Negara Dataran Rendah–, kolonisasi Eropa terhadap Amerika, dan pertumbuhan pesat perdagangan lintasnegara.Merkantilisme adalah sistem perdagangan demi profit, meskipun sebagian besar komoditas masih diproduksi oleh metode produksi nonkapitalis.Di bawah merkantilisme, para pedagang Eropa, dengan dukungan kontrol, subsidi, dan monopoli negara, mendapatkan keuntungan dari pembelian dan penjualan barang-barang. Francis Bacon menyatakan bahwa tujuan merkantilisme adalah “the opening and well-balancing of trade; the cherishing of manufacturers; the banishing of idleness; the repressing of waste and excess by sumptuary laws; the improvement and husbanding of the soil; the regulation of prices…” (Bacon dalam The Seventeenth Century, 1961, dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Capitalism).
Para perintis merkantilisme menekankan pentingnya kekuatan negara dan penaklukan luar negeri sebagai kebijakan utama dari kebijakan ekonomi. Jika sebuah negara tidak mempunya bahan mentahnya, maka mereka mesti mendapatkan koloni yang akan menjadi sumber bahan mentah yang dibutuhkan. Koloni juga akan berperan sebagai pasar barang jadi. Agar tidak terjadi kompetisi, koloni harus dicegah untuk melaksanakan produksi dan dengan pihak lain. Dalam situasi ini, terwujudlah pembagian kerja (division of labor) internasional.
Seperti dikatakan oleh Immanuel Wellerstein, kita menyebut pembagian kerja internasional ini sebagai ekonomi dunia kapitalis karena kriteria definitifnya adalah produksi barang dan jasa untuk dijual di pasar yang tujuannya adalah untuk memaksimalkan profit (dalam Wellerstein, 1979 dalam Hoogvelt, 1997: 14).Dalam pasar kapitalistik, kekuatan permintaan dan penawaran yang tampaknya netrallah yang menentukan harga satu produk dan dengan demikian memberi sinyal kepada produsen apakah mereka mesti melakukan ekspansi produk, mengurangi output, atau mengubah teknik produksi, mengurangi struktur biaya, dan sebagainya. Dengan kata lain, melalui medium tangan tak terlihat (invisible hands) Adam Smith dalam The Wealth of Nations (1776)–yang telah menjadi menjadi “global invisible hand” pada akhir abad ke-19–aktivitas manusia dikoordinasikan secara rapi melintasi batas-batas nasional (Hoogvelt, 1997: 15).
Dari uraian-uraian di atas, terlihat bahwa ada beberapa hal yang selalu muncul dalam pembahasan kritis soal kolonialisme, imperialisme, dan kapitalisme. Beberapa karakter tersebut adalah penguasaan (baik secara koersif atau nonkoersif), eksploitasi (baik terhadap sumber daya alam dan manusia atau pada pemikiran), keuntungan atau profit (bagi negara-negara pelaku, yang selalu berasal dari Eropa Barat dan Amerika Utara), ekonomi (yang menjadi latar belakang pendorong), dan hubungan yang sarat dengan ketidaksetaraan (satu atau sekelompok diuntungkan dan yang lain dirugikan). Ketiga konsep tersebut dalam analisis yang fokus pada pendekatan histori maupun analisis, kerap berkaitan satu sama lain. Itu bisa terlihat dari teori periodisasi di bawah ini.
Sejumlah ilmuwan yang fokus pada sistem dunia memunculkan proposisi soal periodisasi perkembangan kapitalisme, yang di dalamnya karakteristik kapital inti dan hubungannya dengan wilayah periferal sangat beragam.Perbedaan-perbedaan itu dilihat sebagai satu hasil dialektis dari kontradiksi-kontradiksi yang ditimbulkan dalam tiap periode interaksi. Para ilmuwan Neo-Marxist, seperti Samir Amin, Andre Gunder Frank, Ernest Mandel, Albert Szymanski, dan Harry Magdoff, secara umum mengidentifikasi tahap prakompetitif merkantilis (1500-1800), tahap kapitalis kompetitif (1800-1880), tahap monopoli/imperialis (1880-1960), dan beberapa ilmuwan bahkan mengidentifikasi satu tahap monopoli imperialis/kapitalis lanjutan (yang dimulai oleh krisis pada 1968).
Dalam tiap periode, periferi menjalankan fungsi tertentu dalam melayani kebutuhan-kebutuhan esensial akumulasi di sentral.Namun, kebutuhan-kebutuhan esensial ini berubah akibat hasil gemilang pelayanan tersebut. Dan karena interaksi dialektis antara core dan periferi memunculkan tingkat perbedaan perkembangan yang kian meningkat di core dan periferi dalam tiap periode, core dan periferi terpisah kian jauh, menuju satu titik krisis dalam hubungan tersebut, yang kemudian diatasi dengan mengubah struktur formalnya dan metode akstraksi surplus dari core ke periferi (Hoogvelt, 1997: 16).
Sementara itu, Ankie Hoogvelt juga memunculkan periodisasi ekspansi kapitalisme yang berbeda.Periodisasi yang disebutnya sebagai periodisasi yang dikatakan merupakan periodisasi yang “mengabaikan variasi geografis yang luas”, Hoogvelt membagi ekspansi kapitalisme menjadi empat periode.Yang pertama adalah fase merkantilisme, transfer surplus ekonomi melalui penjarahan dan perampasan yang disamarkan menjadi perdagangan (1500-1800). Kedua, periode kolonial, transfer surplus ekonomi melalui syarat-syarat pedagangan yang tak setara yang dilakukan melalui pembagian kerja internasional yang dilakukan melalui kolonialisme (1800-1950). Yang ketiga adalah periode neo-kolonial, transfer surplus ekonomi melalui developmentalism dan technological rents (1950-70).Yang terakhir adalah pascaimperialisme, transfer surplus ekonomi dilakukan melalui peonage (upaya membuat pengutang melakukan segala sesuatu bagi terutang) utang (1970-saat ini).
Tahap pascaimperialisme, pada akhir abad ke-20, ditandai dengan pertumbuhan eksplosif perusahaan-perusahaan transnasional, yang memicu munculnya postimperialism theory. Para teoris modern business enterprise, seperti Charles A. Conant, Arthur T. Hadley, Jeremiah W. Jenks, Adolf A. Berle, Jr., Peter F. Drucker, dan Alfred D. Chandler, Jr. menyatakan bahwa dalam sejarah ekonomi Barat, selama akhir abad ke-19 dan setelahnya, korporasi-korporasi menjelma menjadi organisasi ekonomi yang paling efisien dalam lingkup transportasi, komunikasi, produksi, distribusi, dan pertukaran yang semakin luas (Becker, Sklar & Hakim, 1999: 11).
Sementara itu, masih dalam kaitannya dengan periodisasi kapitalisme, Thomas L. McPhail dalam Global Communication: Theories, Stakeholders, and Trends (2002) melihat periodisasi kapitalisme itu sebagai bagian dari analisis makro sistem komunikasi massa, yang antara lain dilakukan oleh Harold Innis, Marshal McLuhan, Armand Mattelart, Jacques Ellul, dan George Barnett. Pemaparan periodisasi yang dilakukan McPhail disebut sebagai pembabakan sejarah atau perkembangan historis tren “pengembangan imperium”, yang pada dasarnya menggambarkan perkembangan dominasi, yang amat mirip dalam perkembangan sejarah kapitalisme, kolonialisme, dan imperialisme, terutama dari perspektif modernisasi (Daniel Larner, Marion Lavy, Neil Smelser, Samuel Eisenstadt, dan Gabriel Almond), dependensi (Paul Baran, Martin Landsberg, dan banyak peneliti lain), dan teori sistem dunia (Immanuel Wellerstein).
McPhail menyatakan bahwa tren pertama dalam pengembangan imperium adalah melalui penaklukan militer, yang ia sebut sebagai kolonialisme militer. Yang kedua adalah penaklukan oleh tentara salib Kristen, yang ia sebut sebagai kolonialisme Kristen. Yang berikutnya adalah kolonialisme merkantilisme, yang ia sebut bertahan hingga pertengahan abad ke-20. Satu elemen kunci yang sangat penting dalam kolonialisme merkantilisme, menurut McPhail, adalah penemuan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg (ini juga disebutkan oleh Nick Stevenson, 1999:34-35 dan McChesney, Wood, dan Foster, 1998, 51-55) karena hal itu memungkinkan terjadinya penyebaran pesan secara cepat dan lebih luas.Berakhirnya PD I dan PD II menandai berakhirnya era kolonialisme militeristik dan menempatkan negara-negara industri sebagai pemimpin jalur vital perdagangan dan praktik komersial global.Ini semua membawa dunia pada periode keempat perkembangan imperium, yakni kolonialisme elektronik.Periode ini diwarnai oleh ketergantungan less developed countries (LDC’s) pada Barat, yang terjadi karena ada ketergantungan perangkat keras komunikasi yang vital dan perangkat lunak yang cuma diproduksi di barat. Selain itu, LDC’s juga amat bergantung pada Barat dalam hal kebutuhan para insinyur, teknisi, yang protokol-protokol yang berkaitan dengan informasi, yang semuanya membentuk sekumpulan norma-norma, niai, nilai, dan ekspektasi asing, yang dalam berbagai tingkat berbeda mengubah budaya, kebiasaan, nilai-nilai dan proses sosialisasi domestik. Semua pemaran ini disebut sebagai electronic colonialism theory (ECT)[1].
Fredric Jameson dan David Harvey, dua ilmuwan Marxis, mengatakan bahwa modernitas dan pascamodernitas merepresentasikan dua fase kapitalisme yang berbeda.Jameson menyatakan bahwa pascamodernitas berhubungan dengan late capitalism atau satu fase kapitalisme multinasional, “informational”, dan “consumerist”.Sementara itu, Harvey mendeskripsikannya sebagai transisi dari Fordism ke akumulasi fleksibel. Gagasan yang sama juga muncul dalam teori-teori “disorganized capitalism”. Pascamodernitas dengan demikian berhubungan dengan satu fase kapitalisme di mana produksi massa barang-barang standar dan bentuk-bentuk pekerjaan yang berkaitan dengan hal itu, telah digantikan oleh fleksibilitas: bentuk baru produksi.
Ellen Meiksin Wood dalam “Modernity, Postmodernity, or Capitalism?” dalam Capitalism and the Information Age: The Political Economy of the Global Communication Revolution (McChesney, Wood, dan Foster, 1998), menyatakan bahwa periodisasi melibatkan lebih dari sekadar menelusuri proses perubahan. Memproposisikan satu pergeseran sama artinya dengan menentukan mana yang esensial dalam mendefinisikan satu bentuk sosial seperti kapitalisme. Pergeseran epokal berkaitan dengan transformasi-transformasi dasar dalam beberapa elemen konstitutif dasar satu sistem. Dengan kata lain, periodisasi kapitalisme bergantung pada bagaimana kita mendifinisikan sistem ini sejak awal. Dalam hal ini kita harus memahami bagaimana konsep-konsep modernitas dan pascamodernitas menjelaskan bagaimana orang menggunakan konsep-konsep itu untuk memahami kapitalisme.Dalam kesimpulannya, Wood menyatakan bahwa modernitas telah mati, digantikan oleh kapitalisme.
Apa pun fokus dan penggunaan istilahnya, baik imperialisme, kolonialisme, maupun kapitalisme, ada beberapa kesamaan dan warna serta jenis penaklukan dalam periodisasi-periodisasi yang digambarkan di atas. Secara umum, semua periodisasi dimulai dengan penaklukan militer yang dilanjutkan dengan perdagangan sekaligus ekspansi geografis.Pada akhirnya, periodisasi ditutup dengan hilangnya–atau minimnya–peran kekuatan koersif militer dalam penaklukan dan dominasi.
Era terakhir dalam tiap periodisasi selalu diwarnai oleh semakin dominannya unsur-unsur komunikasi dan media komunikasi dalam moda penaklukan, penguasaan, dan dominasi yang lebih halus, yang melibatkan nilai-nilai, norma-norma, dan hal-hal yang jauh dari kesan koersif. Bahkan McPhail menyatakan bahwa periode terakhir, kolonialisme elektronik sebagai satu periode di mana para kolonialis “seeks mind”, sedangkan kolonialisme masih “sought cheap labor”. Secara implisit, McPhail menyatakan ada pergeseran fokus dominasi: dari sesuatu yang bersifat kasar, jelas terlihat, dan fisik menjadi sesuatu yang halus, laten, dan psikis serta mental. Dominasi pada era ini amat sejalan dengan konsep hegemoni Antonio Gramsci[2].
SEJARAH KAPITALISME
Kita perlu memahami sejarah terjadinya masyarakat manusia dalam mempelajari kapitalisme ini. Setidaknya ada tiga alasan kenapa kita sejenak melihat garis besar sejarah masyarakat. Pertama, kita dapat dengan tepat menempatkan konteks historis kapitalisme dalam sejarah peradaban manusia. Konteks historis akan memberi pencerahan pada kita bahwa kapitalisme tidak terjadi dengan sendirinya, kebetulan, apalagi jatuh dari langit. Bahkan lebih dari itu, kita dapat memecahkan dan menghilangkan kontradiksi internalnyaantara buruh-kapitalis, buruh-buruh, dan kapitalis-kapitalis. Di samping itu, konteks historis akan menjelaskan rangkaian fase-fase masyarakat di luar kapitalisme. Kedua, terkait dengan corak produksi masyarakat yang sedang berlangsung, kapitalisme adalah sebuah fase masyarakat, dari fase yang sebelumnya menuju ke fase yang lebih maju atau progresif.[1] Artinya, ada beberapa fase masyarakat yang berurutantermasuk kapitalisme di dalamnyayang mengalami kemajuan atau progresif. Dalam koneks historislah, kita akan mampu menjelaskan bagaiamana perubahan satu fase ke fase berikutnya, apa syarat-syarat perubahannya, siapa penggerak utamanya (motive force), apa kepentingannya, bagaimana bentuk perubahan atau revolusinya, dsb. Ketiga, dengan belajar dan memahami gerak sejarah masyarakat, kita dapat mencari dan memastikan sebuah alternatif dan antitesa ketertindasan manusia oleh manusia yang lain, dimana penindasan sebuah keniscayaan sejarah dalam kapitalisme. Hanya sebuah kepastian (kebenaran) ilmiah yang akan meyakinkah kita bahwa ada sebuah masyarakat di masa depan yang tanpa penindasan, dan itu dapat diwujudkan di dunia ini—setidaknya diminimalkan pada titik terendahnya. Sebagai contoh, di Kuba, pernah terjadi tingkat pemerkosaan hingga mencapai 0% pada tahun 80-an.
Tentu saja, semua itu terjadi dengan sebuah perjuangan—perjuangan klas.
Garis Besar Sejarah Masyarakat
Baiklah, sebelum membahas secara khusus tentang kapitalisme, kita lihat dulu tahapan-tahapan perkembangan sejarah masyarakat. Menurut Marx, ada lima tahapan sejarah perkembangan masyarakat berdasarkan corak produksi yang sedang berlangsung: a) komune primitif, b) perbudakan, c) feodalisme, d) kapitalisme, e) soalialisme/komunisme. Marilah kita bahas satu persatu. Komune primitif. Pada awalnya manusia hidup dalam komune-komune. Mereka memenuhi kebutuhan hidup secara bersama-sama. Corak produksi masyarakat saat itu masih pada tahapan berburu dan meramu. Kaum laki-laki pergi berburu ke hutan, kemudian hasil buruannya diolah oleh kaum perempuan dan kemudian dibagikan sesuai dengan kebutuhan masing-masing orang. Pada masa-masa ini belum ada kontradiksi/penindasan karena alat produksi masih dimiliki oleh kolektif.Mungkin gambaran seperti ini bisa kita lihat dalam kehidupan masyarakat di daerah-daerah pedalaman di kepuluan Afrika atau di pedalaman Irian Jaya. Masa inilah dalam analisa klas Marx masa-masa komunis priminitif. Alat produksi masih dimiliki secara kolektif, belum ada pembagian kerja sosial di dalam masyarakat. Kita dapat melihat gambaran ini yang terdapat dalam suku Bushmen di daerah belukar di Afrika. Dalam suku ini tidak ada kepemilikan pribadi dan pengadilan-pengadilan atau lembaga-lembaga khusus lainya. Setiap komunitas mempunyai otonomi, menjalankan hidupnya secara mandiri. Segala urusan hukum diatur oleh pemburu terlatih dan orang tua, orangyang lebih berpengalaman.
Table I. Kepemilikan Tanah di Jawa
Tahun | Individu | Komunal |
1892 | 74 | 423 |
1898 | 54 | 395 |
1904 | 64 | 309 |
1909 | 83 | 239 |
1912 | 53 (?) | 193 |
1917 | 122 | 164 |
1922 | 144 | 106 |
1927 | 145 | 57 |
Gambaran serupa juga dapat kita lihat pada masyarakat di Mesir dan Mesopotomia Kuno. Segala tagung jawab ditanggung secara bersama-sama, kewajipan aktif dan pasif dijalankan secara bersama-sama. Apa yang ada adalah masyarakat komunal yang egaliter. Tabel I berikut adalah sumber informasi sejarah yang bisa dilacak tentang kepemilikan kolektif alat produksi di Jawa yang merupakan laporan tahunan Belanda (Kolonial Verslag 1983, 1898, 1904, 1909, 1914, 1918, 1924, 1929).
Namun hal ini berubah ketika mulai terjadi penguasaan alat produksi oleh sekelompok manusia. Pada tahap inilah kita memasuki tahapan masyarakat perbudakan. Terbentuknya masyarakat ini melalui dua hal. Pertama melalui peperangan. Terjadi peperangan antara komune yang satu dengan komune yang lain. Komune yang kalah kemudian dijadikan budak oleh komune yang menang. Mereka yang kalah harus rela menyerahkan seluruh tenaganya untuk pemenang peperangan, bahkan mereka dapat diperjual belikan seperti hal barang. Kedua melalu proses hutang. Seseorang yang mempunyai hutang terhdapa orang lain dan kemudian tidak mampu membayar, maka harus menyerahkan tenaganya untuk melunasi hutang. Maka sejak saat itu mulai terjadi penindasan dan mulai munculnya klas social yang membadakan masyarakat berdasarkan posisi dan relasinya terhadap alat-alat produksi. Mulailah muncul klas fundamental, yaitu klas yang terlibat langsung terhadap proses produksi masyarakat yang sedang berlangsung dengan kepentingan yang saling berkontradiksi, dengan wujud kongkritnya kaum pemilik budak (klas penindas) dan kaum budak (klas yang ditindas). Sampai saat ini, setidaknya sejauh yang Saya baca, belum ditemukan bukti-bukti arkelogis bahwa Indonesia pernah mengalami masa perbudakan.
Di samping melalu perbudakan, munculnya klas sosial terjadi dengan cara lain, yaitu menurut tipe Asiatic. Berdasarkan tipe Asiatik klas muncul melalui pembagian kerja dalam kehidupan masyarakat. Tipe ini dapat kita lihat seperti yang terjadi di Lembah sungai Nil maupun yang berada di Lembah sungai Trigris Dan Eufrat. daerah ini sangat tergantung dengan aliran sungai untuk kebutuhan pengairan pertanian. Guna untuk memenuhi kebetuhan ini maka dibangun proyek-proyek irigasi raksasa. Pembangunan ini ` tentunya banyak memerlukan tenaga kerja, menguras pengetahuan dan pengorganisasian. Maka mulailah muncul pembagian kerja antara tukang yang melakukan kerja-kerja fisik dan para administrator yang mengatur pengerjaan proyek. Mulailah ada pengelompokan dalam kehidupan sosial masyarakat. Para administrator yang biasanya tingal diperkotaan (biasanya didekat kuil pemujaan) mulai menarik upeti secara paksa untuk pengairan irigasi. Merekapara penjabat dan pemuka agamaini menyatakan wakil dari dewa yang mempunyai hak untuk memiliki tanah secara pribadi.
Kemudian masyarakat bergerak satu langkah, memasukilah masa-masa feodalisme. Corak produksi saat itu dimana alat produksi (tanah) dikuasai oleh kaum feodal, sedangkan para hamba sahaya (petani miskin) menjadi “pekerja” untuk menggarap tanah-tanah tersebut. Dalam sistem feodalisme biasanya menganut sistem kerajaan, dimana seorang raja mengaku wakil dari tuhan sehingga bisa menguasai tanah-tanah yang ada. Klas fundamental dalam corak produksi ini adalah para tuan-tuan tanah (klas penindas) dan petani miskin (klas yang tertindas).
Kita lanjutkan ketahapan selanjutnya, yaitu masyarakat kapitalis. Dalam periode ini penindasan yang ada lebih halus, penindasan tidak lagi secara fisik, seperti jaman perbudakan atau fedoalisme. Dalam corak produksi kapitalis, alat produksi dikuasai oleh para pemilik modal, sedangkan buruh yang tidak mempunyai modal hanya berperan sebagai pekerja untuk menghasilkan nilai lebih/ keuntungan untuk majikan. Maka dari corak produksi ini kemudian muncullah klas borjuasi (klas penindas) dan klas proletar (klas yang ditindas). Kedua klas inilah yang berperan sebagai klas fudamental (perlu dicatat bahwa bentuk feodalisme dan lahir kapitalisme di Indonesia sangat berbeda dengan yang terjadi di Eropa). Kita masuki fase berikutnya, komunisme. Tipe masyarakat ini, yang merupakan sisntesa Marx terhadap kontradiksi yang terjadi dalam masyarakat kapitalis, sebetulnya kembali ke masa komunis primitif, dalam artian alat produksi kembali dikuasai oleh kolektif. Dengan dikuasainya alat produksi oleh kolektif dengan sindirinya penindasan akan melenyap. Begitu juga dengan klas sosial akan kita melenyap, sehingga tidak ada lagi klas sosial.
Tabel II. Tipe-tipe Corak Produksi
Corak Produksi | Alat Produksi | Klas Fundamental |
Komunal Primitif | Dimiliki Kolektif | Tidak ada |
Perbudakan | Pemilik Budak | Pemilik budak dan budak |
Feoadalisme | Raja-raja Feoadal | Raja Feodal dan Petani Miskin |
Kapitalisme | Pemilik Modal | Borjuasi dan Proletar |
Komunisme | Kolektif | Tidak ada |
Apa bila kita amati perubahan dari tahapan masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain terjadi secara evolutif/melalui tahapan-tahapan. Akan tetapi, cara untuk mencapai tahapan tersebut tidak secara evalutif melaikan secara revolusi. Artinya perubahan itu dilakukan secara radikal, baik itu sistem ekonomi maupun politik. Dan terjadinya revolusi ditandai dengan adanya peralihan kekuasaan dari satu klas sosial ke tangan klas sosial yang lain. Kita ambil contoh perubahan dari sistem feodalisme ke kapitalisme. Mungkin kita masih ingat Revolusi Prancis yang terjadi pada tahun 1789. Ketika itu corak produksi di Prancis adalah feodalisme, baik sistem ekonomi maupun politik. Tanah dikuasai oleh raja begitu juga pemerintahan juga dipegang oleh raja. Ketika pemerintahan Raja Louis Ke VII, terjadi revolusi yang dilakukan oleh kaum borjuasi untuk menumbangkan kekuasaan. Revolusi ini berhasil. Setelah revolusi berhasil, maka corak produksi feoadalisme digantikan dengan kapitalisme, secara ekonomi dan politik kekuasaan para kaum feodal digantikan oleh kaum pemilik modal/borjuasi, sisa-sisa kekuasaan rejim lama diberishkan dan digantikan dengan kekuasaan yang baru.
Mencari Akar Kapitalisme
Sejarah pertumbuhan dan perkembangan kapitalisme yang revolusioner berawal dari Revolusi Industri yang terjadi di Inggris. Penemuan mesin uap, yang kemudian dikembangkan dalam industri manufaktur (tekstil) dan transportasi, memulai babak baru dalam akumulasi modal dan proletarisasi kaum urban. Sistim industri feodal, dalam arti produksi industri yang dimonopoli oleh gilda-gilda, sudah tidak lagi mencukupi kebutuhan-kebutuhan pasar baru yang semakin bertambah luas. Sistem manufaktur kemudian datang menggantikannya. Ketika pasar semakin meluas, kebutuhan pada produk pun semakin bertambah. Sistem manufaktur pun akhirnya tidak mampu menjawab kebutuhan produksi. Segera setelah itu modal dan mesin (teknologi) mampu merevolusionerkan produksi industri. Kedudukan industri manufaktur digantikan oleh industri modern raksasa, kedudukan kelas menengah industri digantikan oleh para milyuner industri, kaum borjuis modern. Industri modern telah menciptakan pasar komoditas dunia. Pasar akhirnya memberikan kemajuan yang sangat besar bagi perdagangan, pelayaran, dan transportasi darat. Perbandingan yang sama dengan kemajuan itu, kaum borjuasi semakin maju dan akumulasi kapital semakin bertambah[2].
Perubahan satu corak produksi masyarakat juga merubah struktur ekonomi politik yang telah usang. Lebih dari itu, perubahan corak produksi juga merubah segala ide, idiologi, konsep moral, estetik, tafsir agama, dan hukum. Masyarakat menuju pada sebuah fase yang lebih maju. Perubahan corak produksi masyarakat berkesesuaian dengan bentuk dan struktur ekoonomi politik. Pada masa feodalisme, kesejahteraan sosial hanya berputar dan terpusat pada raja dan orang-orang sekitarnya. Kesejahteraan sosial dikumpulkan dari upeti-upeti yang diperas dari kaum petani. Setiap petani hanya memiliki hak guna atas tanah, dan raja adalah pemilik mutlak, karena ia adalah wakil Tuhan di dunia. Kekuasaan politik tidak bisa diakses oleh orang-orang di luar titisan raja. dan peran kemiliteran memiliki peran yang sangat strategis dam struktur politik daripada sektor industri/ekonomi.
Pada fase-fase selanjutnya, kesejahteraan sosial tidak lagi terpusat pada lingkaran istana. Munculnya tuan-tuan tanah (baron) telah memulai arus baru kesejahteraan sosial dalam masyarakat. Perlahan-lahan muncul orang-orang kaya yang muncul dari sektor pertanian dan jasa. Jumlah kaum borjuis ini semakin bertambah kuatitasnya, dan pada saat yang bersamaan tingkat penguasaan kekayaan sosial pun semakin meningkat. Namun, bentuk dan sistem ekonomi politik yang sedang berlangsung (feodalisme) telah menghambat proses terjadinya akumulasi dan peningkatan kekayaan atau modal pada titik paling maksimal. Hambatan itu datang dari pajak yang tinggi dan praktek-praktek kolusi, korupsi dan nepostime di bidang ekonomi dan politik.
Hambatan-hambatan struktural ini yang membuat kaum borjuis berusaha membuat perubahan yang fundamental dalam sistem ekonomi politik yang sesuai dengan kepenting ekonomi politik mereka. Perubahan itu meliputi perubahan negara yang bisa diakses oleh semua orang, sistem ekonomi yang tidak menghambat proses penumpukan kekayaan, militerisme digantikan oleh ekonomi sebagai motor perubahan. Dalam konteks inilah kita bisa memahami Revolusi Demokratik Borjuis di Perancis pada tahun 1789. Dari tiga slogannya (liberty, egality, fraternity) sangat menunjukkan sense kepentingan borjuisnya. Pada masa-masa sebelum revolusi tersebut, masyarakat belum memahami apa sebenarnya kata dan sistem feodalisme. Revolusi itulah yang menjelaskan dengan gamblang bagaimana sistem ekonomi politik yang usang dan digantikan oleh sebuah sistem yang baru.[3]
Ada dua klas utama dalam masyarakat kapitalis adalah borjuasi dan proletariat.
Pada tahap kapitalisme lebih lanjut, borjuasi terdiri atas pemilik-pemilik properti agrikultur dan industri besar yang hanya berurusan dengan pengorganisasian kerja di perusahaannya, dan menikmati surplus dalam bentuk profit yang didapatnya dari kerja para pekerja upahan yang tetap tidak terbayar sesuai dengan kebutuhannya di bawah kapitalisme.
Klas yang berseberangan dengan borjuasi, di satu sisi, yang juga merupakan prakondisi-prakondisi bagi keberadaannya, di sisi lain, adalah proletariat. Klas ini terdiri dari para pekerja upahan yang tidak memiliki alat-alat produksi dan harus menjual tenaganya kepada para kapitalis sekedar untuk terus bertahan hidup. Dalam perbandinganya dengan para budak, yang ketergantungan terhadap tuannya adalah absolut atau dengan para hamba, para pekerja itu secara legal, bebas. Tapi, ketergantungan mereka terhadap para kapitalis sama besarnya, walau hal itu memanifestasikan diri dalam bentuk-bentuk yang berbeda. Seorang pekerja tidak berhak atas alat-alat produksi. Ia bergantung hanya pada tenaga kerjanya sendiri dan menopang dirinya sendiri dengan menjualnya. Dalam masyarakat kapitalis, tak seorangpun kecuali para kapitalis, yang memiliki semua alat-alat produksi, dapat membeli dan memanfaatkan tenaga kerja. Konsekuensinya, para pekerja dipaksa untuk bekerja bagi para kapitalis tersebut.
Borjuasi bergerak terus melintasi sejumlah tahap dalam perkembanganya yang berkesesuaian dengan tahap-tahap perkembangan ekonomi dari masyarakat kapitalis. Di masa feodalisme, di negara-negara Eropa Barat, istilah “borjuis” dipakai bagi seluruh populasi urban. Perkembangan dari produksi kerajinan dan material telah memecah penghuni perkotaan ke dalam klas-klas. Timbulnya borjuasi sebagai sebuah klas di hubungkan dengan jaman yang di sebut sebagai akumulasi modal primitif (abad ke-16 hingga abad ke-18). Ciri kunci dari jaman ini adalah perampasan tanah dan instrumen-instrumen kerja dari massa-massa populer yang besar, melalui elemen terpentingnya yaitu perampasan barang-barang kolonial dan ekspansionisme. Di saat itu, semua syarat-syarat telah tersedia bagi mulainya sebuah corak produksi kapitalis. Syarat-syarat itu termasuk telah hadirnya massa pekerja upahan independen dan konsentrasi kapital di tangan borjuasi. Ketika tenaga produksi berkembang, pabrik-pabrik, dan selanjutnya, mesin produksi berskala besar, datang menggantikan organisasi kerja bertipe workshop. Persis di saat kapital industrial mencengkram seluruh industri, saat itulah kapitalisme memantapkan dirinya sebagai corak produksi yang utama.
Tahap kedua dari perkembangan borjuasi dikenal sebagai sebuah periode revolusi industri dan bentuk kapitalisme pra-monopoli. Periode ini menjadi saksi peningkatan jumlah klas kapitalis di mana pengusaha berukuran kecil dan menengah mulai naik ke permukaan. Bergantung pada bidang mana borjuasi menginvestasikan kapitalnya, ia dapat dibedakan atas kelompok-kelompok industrial, pedagang, finansial dan rural (pedesaan).
Tahap ketiga dari perkembangan borjuasi dikaitkan dengan periode monopoli kapitalisme dan revolusi sains dan teknologi. Akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20 adalah tahun-tahun oligarki finansial muncul ke permukaan sebagai sebuah akibat timbulnya jutawan-jutawan dan multi-multi jutawan, kebangkrutan banyak pengusaha kecil dan menengah, konsentrasi serta sentralisasi produksi dan kapital. Inilah basis ekonomi monopoli muncul dan secara cepat berkembang sementara kapitalisme mulai memasuki tahap tertinggi dalam perkembanganya yang dikenal sebagai imperialisme.[4]
Imperialisme, Tahap Tertinggi Kapitalisme
Dengan menggunakan teori yang dikembangakan Marx pada tahun 1865, 85 tahun kemudian, Lenin telah menyimpulkan bahwa ciri “produksi kapitalis dalam perkembangan tertingginya” telah mendominasi di Eropa Barat, Amerika Utara, dan Rusia. Ia berpendapat bahwa “pada akhir abad ke-19 dan permulaan abad ke-20, pertukaran komoditi telah menciptakan internasionalisasi hubungan ekonomi, dan internasionaslisasi kapital, yang bersamaan dengan peningkatan produksi berskala besar, sehingga kompetisi digantikan oleh monopoli. Dengan kata lain, dalam persaingan bebas, kenaikan produksi berskala luas akan diambil oleh monopoli. Ia menilai bahwa ciri dominan bisnis kapitalis adalah perusahaan-perusahaan yang tidak lagi bisa berkompetisi baik di dalam negerinya maupun ketika berhubungan dengan negeri lainnya akan berubah menjadi monopoli persekutuan pengusaha, yang memilah-milah atau membagi pasar dunia bagi kepentingan akumulasi kapitalnya masing-masing.[5]
Periode ini akan ditandai oleh kendali setiap oligarki keuangan negeri-negeri kapitalis maju, yang dengan kekuasaan paksaan dan kekerasannya untuk mempertahankan dominasi imperialnya dalam ekonomi dan politik negara-negara berkembang, serta untukk meningkatkan akumulasi modal mereka dengan tidak saja mengorbankan kelas pekerja di negerinya dan neger-negeri lain, tetapi juga ketika mereka bersaingan dengan oligarki keuangan yang mendomiasi negeri-negeri maju lainnya. Akibatnya zaman baru imperialis kapitalisme akan ditandai dengan pengulangan-pengulangan perang kolonial yang disulut oleh negeri-negeri imperialis yang mendominasi.[6]
Di bawah imperialisme, borjuasi cenderung secara terus-menerus menyusut dalam jumlah dan bentuknya, saat ini hanyalah 1,5 sampai 2 persen dari populasi yang diuntungkan oleh pekerjaannya di negara-negara kapitalis maju. Bagaimanapun, borjuasi telah mengkonsentrasikan bagian terbesar dari kekayaan sosial di tangan mereka sendiri.
Jika, di periode awal perkembangan kapitalisme, borjuasi dikenal sebagai sebuah klas progresif yang secara cepat membangkitkan tenaga-tenaga produktif yang sangat kuat dan yang wakil-wakilnya memainkan peran kunci dalam pengorganisasian produksi, kemudian borjuasi modern justru menghalangi daripada mendorong kemajuan sosial. Bahkan salah satu dari fungsi-fungsi utamanyayaitu mengorganisasi produksisecara bertahap dipindahtangankan ke manager-manager upahan yang dilatih secara khusus. Di saat yang sama oligarki finansial borjuasi itu dan perwakilan dari kompleks industri militer telah pula merambah perang-perang di Vietnam, Laos, Kamboja dan berbagai wilayah lain.[7]
Dalam perkembangan ekonomi dunia saat corak imperialisme menuju pada sebuah sistem neo-liberalisme. Sebuah sistem ekonomi yang mengacu pada teori liberalisme-nya Adam Smith dan David Ricardo. Perbedaannya adalah kalau dulu internasionalisasi komoditi, sekarang yang terjadi adalah internasionalisasi kapital.[8]
Logika modal
Dalam masa-masa pra kapitalis, proses transaksi ekonomi berjalan dalam hukum barter (B1B2) atau sistem pasar yang lebih cangggih dengan ditemukannya uang (B1—U—B2). Dalam kedua sistem ini mengisyaratkan lambannya tingkat akumulasi modal. Dalam hukum pertama (barter), B (barang) 1 nilai sama dengan B (barang) 2. Kalau kita punya 1 buku (B1) dibarter dengan 3 ekor bebek (B2) yang terjadi adalah hanyalah proses pertukaran, tanpa ada nilai laba yang dihasilkan. Demikian juga dengan hukum kedua dimana uang telah ditemukan. Jika anda menjual ayam (B1) seharga Rp. 500,- (U), kemudian dengan uang tersebut anda membeli baju (B2) dengan harga yang sama, maka yang terjadi adalah sebuah proses pertukaran yang lebih kompleks. Namun dari transaksi tersebut belumlah didapatkan sebuah laba untuk dikumpulkan/ditimbun.
Dalam sistem kapitalisme, logika modal menjadi semakin kompleks. Hukumnya adalah M1KM2, dimana M1 adalah modal awal produksi, K (komoditi) adalah biaya dan proses produksi barang hingga dikonsumsi, dan M2 adalah modal kembali. Modal awal produksi meliputi pembelian alat-alat produksi, perawatan, buruh, bahan baku dan waktu kerja. Setelah mengalami proses produksi maka muncullah komoditi (K). Terjadinya konsumsi terhadap K menghasilkan nilai laba (M2) jauh lebih besar dari modal awal (M1), sehingga besarannya menjadi M1 < M2. Kenapa ada peningkatan nilai (laba) setelah melalui proses produksi? Jawabannya adalah karena ada nilai lebih yang diambil dari proses produksi. Nilai lebih inilah yang menjadi sumber pendapatan utama kaum kapitalis.
Proses terjadinya nilai lebih adalah sebagai berikut. Dalam corak produksi kapitalis, mayoritas rakyat mau tak mau harus menjadi buruh. Dalam sistem kapitalis, tenaga kerja dijadikan sebagai komoditi. Padahal pada dasarnya, tenaga kerja adalah faktor produksi, di samping bahan baku, teknologi, mesin, infrastruktur, dll. Sebagai faktor produksi, tenaga kerja telah dikuasai oleh kapitalis, sebab telah dijual dengan satuan harga upah. Semua hasil kerja buruh dengan demikian menjadi milik kapitalis. Buruh punya pendapatan bukan berarti dia menikmati hasil kerja, tapi hasil sewanya lewat sistem upah yang berdasarkan waktu dan jenis kerja, bukan pada pertambahan nilai barang yang mereka ciptakan. Buruh memproduksi nilai lebih, yakni, selisih nilai antara waktu yang ia butuhkan untuk memproduksi sebuah barang denganwaktu kerja. Selisihnya adalah kelebihan waktu kerja.[9]
Misalnya, buruh bekerja 8 jam sehari dengan upah Rp. 7.000,00. Selama 8 jam mereka dipekerjakan untuk menjahit jas dengan modal (bahan baku, sewa tempat, listrik, dsb) sebesar Rp. 100.000,00 per potong. Setuap hari ia bisa membuat atu potong jas. Sementara jas itu dijual dengan harga Rp. 300.000,00. Ada pertambahan nilai sebesar Rp. 200.000,00. Ini berarti nilai lebih yang dirampas kapitalis adalah Rp. 200.000,00-Rp.7.000,00 = Rp. 193.000,00. Padahal nilai Rp. 7.000,00 cukup untuk bekerja selama 20 menit. Kelebihan waktu kerja sebesar 7 jam 40 menit. Nilai lebih ini akan semakin meningkat bila melibatkan lebih banyak buruh yang dihisap, dan didukung oleh teknologi produksi.
Perbedaan posisi buruh dan majikan terhadap alat produksi menentukan hubungan hubungan produksi. Hubungan inilah yang memeras dan menghisap para buruh. Alasan kepemilikan inilah yang dijadikan kaum kapitalis untuk mengambil nilai lebih yang sebanyak-banyak dari kaum buruh.
Dalam eksploitasi dan akumulasi modalnya, para kapitalis menggunakan instrumen negara sebagai mesin penghisap dan penindasnya melalui kekuatan-kekuatan militernya. Negara merupakan alat klas sosial tertentu untuk menindas klas sosial yang lainnya. Negara hanya penyedia segala keperluan kaum kapitalis, dan melindungi dan menjamin segala transaksi dan investasi yang sedang berjalan.
PERKEMBANGAN KAPITALISME
Kapitalisme Klasik
Secarahistoris perkembangan kapitalisme merupakan bagian dari gerakan Individualisme. Gerakan itu juga menimbulkan dampak dalam bidang yang lain. Dalam bidang keagamaan gerakan ini menimbulkan Reformasi.Dalam hal penalaran melahirkan Ilmu Pengetahuan Alam; dalam hubungan masyarakat memunculkan Ilmu-Ilmu Sosial; dalam ilmu ekonomi melahirkan sistem kapitalisme.Karena itu peradaban kapitalis sah (legitimate) adanya.Didalamnya terkandung pengertian bahwa sistem kapitalisme adalah sistem sosial yang menyeluruh, lebih dari sekedar tipe tetentu dalam perekonomian.Sistem ini berkembang di Inggris pada abad 18 dan kemudian menyebar luas kekawasan Eropa Barat-Laut dan Amerika Utara.Ada beberapa sifat dasar yang mencirikan kapitalisme pada awal perkembangannya.Diantaranya :
Pemilikan perorangan (individual ownership) dalam sistem kapitalis pemilikan alat-alat produksi (tanah, pabrik, mesin) dikuasai secara perorangan, bukan oleh negara. Prinsip ini tetap mengakui adanya kepemilikan negara yang berwujud monopoli yang bersifat alamiah atau yang menyangkut pelayanan jasa kepada masyarakat umum (kantor pos, misalnya), tetapi hal tersebut lebih dianggap sebagai pengecualian daripada bagian dari pengaturan lainnya, akan tetapi tidak semuanya, pemerintah juga dapat memiliki tanah. Di AS pemeintah federal memiliki sepertiga dari seluruh tanah, terutama di Alaska dan wilayah barat.
Penyimpangan peradaban kapitalis dalam pemilikan alat-alat produksi secara perorangan didasarkan pada dua pertimbangan. Pertama :pemilikan atas harta yang produktif berarti penguasaan atas kehidupan orang lain. Menurut pandangan kaum yang menjunjung tinggi kebebasan (libertarian).Penguasaan seperti itu seharusnya dibagikan atau disebarkan dikalangan banya pemilik harta dan bukan dimiliki oleh satu pihak saja yaitu negara.Apapun itu, dalam hal pemilikan individu tidak boleh dibatasi oleh pemerintah yang dipilih oleh rakyat. Kalau negara mimiliki semua harta yang bersifat produktif, maka kekuasaan ekonomi dan politik akan mengalami tumpang tindih karena berada dalam satu tangan. Akibatnya perhatian terhadap kebebasan ekonomi perorangan menjadi tidak menentu.Kedua ; ada anggapan kapitalis klasik bahwa kemajuan teknologi (technological progress) lebih mudah dicapai kalau orang menangani urusan atau kepentingannya sendiri dalam memiliki dorongan pribadi untuk melakukan hal itu.
Perekonomian Pasar (market economy) prinsip yang lain dari pada sistem kapitalis adalah perekonomian pasar. Dalam Masa Pra-Kapitalis pada umumnya bersifat local dan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Setiap keluarga menghasilkan sekedar memenuhi kebutuhannya dan melengkapi kebutuhannya yang bersifat sederhana melalui barter atau pertukaran barang di pasar setempat yang bersifat primitive. Pembagian kerja hampir tidak pernah dikenal, dan setiap keluarga harus menangani banyak pekerjaan yang kini tersebar dikalangan ratusan jenis kerajinan dan spesialisasi.Jenis pekerjaan yang dilakukan seseorang dan harga yang ditetapkan untuk suatu jenis barang dan jasa sebagian besar ditentukan oleh kebiasaan nilai kegunaannya.Sebaliknya, perekonomian pasar dalam sistem kapitalis di dasarkan pada spesialisai kerja.Setiap orang hanya memasok sebagian kecil dalam memenuhi kebutuhannya, melalui keterampilan dan pekerjaan pribadi. Barang dan jasa tidak dimaksudkan untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga produsen sendiri, akan tetapi untuk pasar. Dalam hal harga, penawaran dan permintaan menjadi kendala penentu, sejauh persaingan yang ada tidak diganggu atau di nodai oleh Monopoli, Oligopoli, atau “ posisi pemimpin dalam dalam penentuan harga” yang dimiliki oelh perusahaan-perusahaan terkemuka dalam jenis usaha atau industri tertentu.
Di bawah Fascisme dan Komunisme pemerintah berusaha untuk menguasai dan menangani seluruh perencanaan ekonomi.Tetapi pemerintah dalam kedua sistem itu mengalami keterbatasan dalam rentang kendali. Tidak ada kelompok perencana yang mampu mengantisipasi semua kemungkinan peristiwa yang akan terjadi di luar dugaan dalam sistem ekonomi yang rumit yang menyangkut jutaan orang dan membutuhkan puluhan juta keputusan setiap hari. Seperti telah disinggung sebelumnya, dibawah doktrin Sosialisme pasar, beberapa pemimpin komunis telah meninggalkan konsep perencanaan pusat yang kaku dan beralih kepada proses pembuatan keputusan ekonomi yang lebih Desentralistis, dengan memberikan kepada para manajer pabrik perorangan keleluasaan untuk mengadakan penyesuaian dengan perubahan yang terjadi di pasaran. Dalam perekonomian pasar kapitalis setiap pembuat keputusan mengawasi suatu bidang yang jauh lebih kecil, sehingga bidang perhatian dan pengawasan lebih terbatas dan lebih mudah ditangani.
Mekanisme penawaran dan permintaan yang relative tidak diatur dalam perekonomian pasar bebas merupakan prinsip yang paling mendasar.Komunisme dan Fascisme tidak mempercayai hal ini.Dalam fascisme kepemilikan alat-alat produksi secara formal berada ditangan perorangan, tetapi hal itu tidak penting, karena fasisme meninggalkan perekonomian pasar bebas dan terbuka dan menggantikannya dengan PerekonomianTerpimpin (Command economy). Negara akan mendikte setiap individu dimana harus bekerja, jenis pekerjaan, apa yang akan diproduksi, penentuan harga, dan cara menginvestasikan tabungan dan keuntungan. Dalam komunisme baik kepemilikan alat-alat produksi secara perorangan maupun perekonomian pasar dihapuskan.Karena itu perekonomian komunis juga merupaka ekonomi terpimpin, dimana keputusan ekonomi dibuat oleh negara.Sebaliknya dalam perekonomian pasar perusahaan maupun individu dapat membuat keputusan-keputusan ekonominya sendiri sesuai dengan kepentingan, pengalaman, dan kemampuan.
Para ahli ekonomi Sosialis telah megakui berbagai implikasi politik yang pentiing dari perekonomian pasar.Sebagai contoh, dalam buku The Principles of economic Planning,W. Arthur Lewis menandaskan bahwa masalah yang riil bukanlah menyangkut ada tidaknya perencanaan itu, tetapi apakah perencanaan itu merupakan hasil komando atau dorongan.Dalam perencanaan yang di dikte. Pemerintah berusaha memastikan penyelesaian kegiatan atau pekerjaan yang tepat melalui pengawasan dan pengaturan yang langsung dalam hal keluaran, upah dan harga,.Instansi pemerintah melakukan pengamatan terhadap setiap langkah pabrik, dan para buruh dan manajer yang gagal mencapai kuota yang telah ditentukan dapat dihukum sebagai pelaku sabotase, meskipun kegagalan itu lebih diakibatkan oleh kelalaian atau ketidak mampuan dari pada oleh unsur-unsur kesengajaan.
Di negara Demokrasi pemerintah merangsang kegiatan-kegiatan ekonomi tertentu secara tidak langsung melalui penetapan anggaran, pajak, tingkat bunga dan berbagai kebijakan perancanaan lain yang sifatnya mendorong. Dengan demikian dapat dihindari dua kelemahan perencanaan atas dasar komando dan pengarahan, yaitu sentralisasi birkrokratis dan perekonomian yang tidak efisien.Tanpa bermaksud untuk menolak sistem pasar bebas sebagai mekanisme yang normal dalam penyesuaian perekonomian, Lewis mengemukakan pendapatnya bahwa “sedapat-dapatnya kita mengacu pada tujuan untuk melestarikan sistem pasar bebas”. Dalam menerima prinsip peekonomian bebas, Lewis sama sekali tidak bermaksud mengarah kepada kesimpulan bahwa nasionalisasi semua industri tidak dikehendaki kerena alasan melawan monopoli, ketidak efisiennan, kurangnya inisiatif, dan pemusatan kekuasaan.
Fungsi pasar bebas sebagai mekanisme kebebasan politik semakin diakui oleh kaum sosialis karena ternyata yang penting bukanlah masalah kepemilikan, tetapi masalah apakah keputusan ekonomi di buat sendiri oleh pengusaha yang independent di satu pihak atau oleh negara di pihak lain.
Oleh karean itu pembedaan antara ekonomi terpimpin dan perekonomian pasar dalam bidang ekonomi justru lebih banyak mencerminkan perbedaan dalam bidang politik yang mendasar antara Totalitarisme (fasisme dan komunisme) dan Liberalisme ( sosialisme dan kapitalisme).Hubungan timbal balik antara ekonomi pasar dengan liberalisasi politik yang relative dapat juga dilihat pada studi perbandingan mengenai negara-negara fasis maupun komunis.Negara Fasis Italia lebih dekat ke ekonomi bebas dari pada Nazi Jerman dan penindasan politiknya tidak terlalu dipaksakan.Dikalangan negara komunis sangat nampak bahwa Yugoslavia, yang secara politik lebih liberal dari pada negara-negara komunis lainnya, telah mengarah kepada kepada ekonomi pasar jika dibandingkan dengan negara-negara komunis lainnya yang tidak mengakui kedaulatan konsumen. Konsumen tidak hanya bebas dalam memilih barang yang disukainya diantara barang-barang lain yang ditawarkan, tetapi akhirnya juga, melalui pilihan yang dilakukannya, menentukan jenis dan jumlah barang yang akan diproduksi. Dalam perekonomian pasar pemerintah tidak menentukan berapa banyak mobil dan televisi yang kan diproduksi, tetapi penentuan ini secara kumulatif dilakukan oleh jutaan konsumen melalui pilihan yang mereka buat. Tetapi bahkan dalam perekonomian pasar pemerintah mengambil berbagai kebijakan yang menyangkut tingkat produksi. Dalam perekonomian yang “Overheated” pemerintah dapat menaikkan suku bunga untuk menghalangi perusahaan dan individu meminjam pada suku bunga yang tinggi untuk tujuan perluasan usaha. Dalam masa yang seperti itu pemerintah bahkan dapat melangkah lebih jauh dan melakukan pengendalian upah dan harga, seperti yang dilakukan oleh Presiden Nixon pada tahun 1971 dalam paket “Kebijakan Ekonomi Baru” (New Economic Policy). Campur tangan pemerintah seperti itu, sering hanya bersifat sementara, pada dasarnya berbeda dengan penentuan atau penetapan oleh pemerintah seperti terdapat dalam perekonomian Fasis dan Komunis yang bersifat terpimpin mengenai jumlah barang yang kan diproduksi, terlepas dari preferensi atau kecenderungan konsumen.
Persaingan (competition) suatu ciri pokok lain dari perekonomian pasar adalah Persaingan. Dalam perekonomian prakapitalis faktor adat atau kebiasaan dan kegunaan menentukan sesuatu barang atau jasa berharga atau tidak, dan ada banyak orang yang sama sekali tidak dapat bersaing karena mereka berada diluar beberapa jenis pekerjaan atau perdagangan. Dalm perekonomian modern, alternatif untuk persaingan bisa saja monopoli swasta atau juga monopoli resmi dari negara. Dalam kedua kasusu tersebut, interaksi yang bebas antara para pembeli dan penjual diwujudkan dalam penentuan harga barang dan jasa oleh optoritas kenyataan (de facto authorty) seperti dalam kasusu monopoli swasta, dan penentuan harga barang dan jasa oleh otoritas resmi (legal authorty) seperti dalam kasus monopoli negara.
Dalam dunia industri, Risettelah menjadi bidang persaingan yang palin tajam.Riset hari ini berarti produk yang lebih murah dan lebih baik hari esok, dan kegairahan untuk bersaing terlihat dalam kenyataan bahwa perusahaan-perusahaan membelanjakan anggaran yang terus meningkat untuk keperluan riset.Dengan mengakselerasi tingkat perubahan dalam perekonomian, sejak dini riset telah mendorong persaingan, bahkan jauh sebelum barang dan jasa mencapai pasaran.Riset juga merupakan faktor yang penting dalam persaingan perekonomian negara yang satu dengan negara yang lainnya.Salah satu ciri yang mengganjal dalam perekonomian Amerika selama tahun 1970-an adalahmerosotnya proporsi investasi swasta dan negara untuk keperluan riset yang pada akhirnya sangat menentukan keunggulan dalam soal teknologi. Kekuatan Jepang dan Jerman Barat dalam perdagangan dunia mengungguli AS antara lain dipengaruhi oleh investasi yang tinggi dalam bidang riset.
Keuntungan (profit) dalam sistem kapitalis prinsip Keuntunganmerupakan salah satu ciri pokok.Terdapat perbedaan yang mencolok antara kapitalisme dan pra-kapitalis.Perekonomian kapitalis memberikan lebih banyak kesempatan untuk meraih keuntungan dari pada perekonomian yang lein, karena dalam perekonomian kapitalis dijamin adanya Tiga kebebasan yang biasanya tidak ditemukan dalam sisitem yang lainnya. Ketiga kebebasan itu adalah ”Kebebasan berdagang dan menentukan pekerjaan, kebebasan hak pemilikan, dan kebebasan mengadakan kontrak. Dalam abad pertengahan produksi alat-alat tertentu dilakukan oleh serikat sekerja dan dijual dengan harga yang sudah ditentukan sebelumnya.Dengan demikian sisitem keuntungan mangalami dua kali pembatasan.Pertama hanya anggota serikat yang boleh terlibat dalam proses produksi. Kedua harga tidak ditentukan dalam kontrak yang bebas antara pembeli dan penjual tetapi oleh otoritas adat, gereja, dan negara.
Kalau sistem kapitalis digambarkan sebagai suatu sistem keuntungan (profit system), sering dilupakan bahwa sisi lain dari transaksi juga sama pentingnya. Kapitalisme adalah juga sistem rugi (loss system).Sekalipun diakui bahwa di bawah sistem kapitalisme banyak orang dapat meraih keuntungan yang tinggi, tetapi juga diakui bahwa didalam itu begitu banyak orang menderita kerugian besar.Dalam pembangunan ekonomi Amerika, kebangkrutan dan kegagalan merupakan masalah yang biasa pada tahap awal usaha pertambangan, perkeretaapian, dan industri otomotif.Dalam industri Komputer Perusahaan Radio Amerika, sebuah perusahaan raksasa, melakukan usaha sia-sia untuk memperoleh posisi yang mapan dalam bidang usahanya.Setelah selama dua dasawarsa membuat komputer, perusahaan itu akhirnya menghentikan produksinya.
Berbagai Tekanan dan Ketegangan dalam Kepitalisme Modern
Dalam periode klasiknya, kira-kira sejak pertengahan sampai abad ke 19, teori kapitalisme hampir mendekati kenyataan.Dalam abad duapuluh kapitalisme harus menghadapi berbagai tekanan dan ketegangan yang tidak diperkirakan sebelumnya.
Pemisahan pemilikan suatu perusahaan dari manajemen dan kontrol keuangan atas perusahaan yang sama secara sah dimungkinkan oleh penemuan bentuk perusahaan yang berbadan hukum (corporate form of business). Setiap pemegang saham dalam sebuah perusahaan bertanggung-jawab menurut besarnya saham yang dimilikinya, tidak lebih dan tidak kurang. Dalam perekonomian pra-kapitalis, persekutuan (partnership)menuntut tanggung jawab pribadi penuh dari setiap pihak dalam pengoperasian perusahaan persekutuan biasanya dalam skala yang relatif kecil dan setiap pihak memiliki rasa keterlibatan pribadi, baik dalam urusan keuangan maupun secara moral.
Inti permasalahan yang sangt sederhana, dalam urusan pemerintahan dengan demokrasi telah menetapkan prinsip bahwa mereka yang memegang kekusaan harus bertanggung jawab kwpada masyarakat umum.Rakyat mempunyai kedudukan yang sangat penting.Pemerintah hanyalah agen rakyat.Kekuasaan politik di negara demokrasi tidak boleh dilaksanakan demi kepentingan penguasa.Di dalam kekuasaan itu terkandung kepercayaan yang tujuanya untuk melindungi kepentingan rakyat.
Dalam dunia ekonomi situasi yang ada menunjukkkan sifat yang berlawanan dengan konsep dasar demokrasi.Pimpinan perusahaan memegang kekuasaan yang berjangkauan luas atas pemegang saham serta para pegawai atau pekerja, dan senantiasa membuat keputusan yang mempengaruhi kepentingan masyarakat tanpa batasan tanggung jawab yang jelas kepada mayarakat umum.Dalam negara demokrasi kapitalis berbagai kebijakan politik ditetapkan melalui musyawarah dari tingkat yang paling rendah sampai ke tingkat yang paling tinggi.Dalam perusahaan yang berbadan hukum kebijakan ekonomi dibuat pada tingkat puncak (pimpinan) dan kemudian disebarkan kebawah sampai tingkat yang paling rendah.Organisasi industri modern bersifat hierarkis yang didasarkan pada disiplin dan kepatuhan.Pola trdisional dalam perusahaan industri telah banyak dimodifikasi oleh perundingan antar serikat, badan perwakilan (legislasion), pendapat umum, dan peningkatan rasa tanggung jawab di kalangan para pengusaha (business-people) terhadap kelompok dan masyarakat secara keseluruhan.
Kemajuan atau keberhasilan kapitalisme senantiasa diikuti oleh perombakan ciri kelembagaan dn idiologisasinya yang asli melalui proses pemasyarakatan (collectivizing) kerangka kerja perusahaan. Proses pemasayarakatan perusahaan itu dalam era kapitalisme dirintis bukan oleh pengkririk kapitalisme tetapi oleh para pengusaha kapitalis yang sukses seperti Andrew Carnegie, John D. Rockefeller. Henry Ford, yang semuanya telah membangun kerajaan industri raksasa.
Seperti kerajaan yang lain, kerajaan industri juga cenderung menjadi birokrastis dan suka akan keragaman untuk mengikuti hal yang bersifat rutin dan telah ditentukan sebelumnya serta merubah atau mengganti inisiatif dan usaha pribadi dengan peraturan administratif yang bersifat rutin dan impersonal kalau para kapitalis yang asli memiliki sifat tegas, berani, dan suka bertualang, maka para administrator atau pelaksana kerajaan industri modern cenderung untuk menempatkan persoalan keamanan diatas segala-galanya. Kalau keberanian mengambil resiko merupakan salah satu ciri yang menjadi kebiasaan para kapitalis asli, maka pemimpin perusahaan saat ini lebih menyukai “taruhan yang aman” berupa investasi tanpa resiko yang berat. Bahayanya ialah bahwa peningkatan skala bisnis dapat mengakibatkan sistem usaha bebas (the free enterprise system) secara perlahan berubah menjadi sitem “usaha yang aman”.
Dalam banyak hal perbedaan antar perusahaan kapitalis yang berskala besar dengan perusahaan berskala kecil yang telah dimasyarakatkan (large scale socialized enterprise) hampir sama dengan perbedaan antara perusahaan kapitalis yang berskala kecil dengan perusahaan kepitalis yang berskala besar. Para penganjur kapitalisme Justice Brandeis dan Presiden Wilson merasa takut “bencana lantaran kebesaran” (curse of bigness) mungkin pada akhirnya akan menghancurkan perusahaan swasta yang besar tetapi juga model perusahaan swasta itu sendiri. Disamping itu masalah ukuran yang besar ini tidak hanya melanda lembaga-lembaga ekonomi kapitalisme liberal. Dalam dunia politik justru juga ada ancaman akan timbulnya masalah “pemerintahan besar” yang justru menghancurkan unsur-unsur yang memberi hidup dan semangat bagi demokrasi.
Siapa yang memiliki bisnis Amerika?Sekitar 60% saham perusahaan dimiliki oleh individu.Sisanya dimiliki oleh perusahaan penanm modal, perusahaan asuransi, yayasan, dan berbagai lembaga.Pada sisi yang positif telah ada peningkatan yang berarti dalam jumlah orang yang memegang saham. Pada sisi yang negatif terdapat kenyataan bahwa kurang dari 0,1% warga negara menguasai 20% seluruh saham yang dipegang oleh individu. Meskipun konsentrasi pemilikan saham ini telah menurun tajam dalam tahun-tahun terakhir, namun tingkat konsentrasi itu masih tetap tinggi sehingga kita harus menyatakan bahwa Kapitalisme Amerika masih harus menempuh jalan panjang sebelum mencapai tahap “Kapitalisme Rakyat”.
[1] Definisi secara sederhana, corak produksi adalah cara masyarakat manusia, pada umumnya, dalam memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan di suatu tempat dan pada suatu waktu. Misalnya, cara memenuhi kebutuhan makan dan pakaian pada masyarakat kuno berbeda dengan masyarakat sekarang ini. Dalam kata lain, corak produksi adalah cara masyarakat manusia memproduksi dan mendistribusikan kesejahteraan sosial yang dibuatnya.
[2] Marx dan Engels, Manifesto Partai Komunal, Jurnal Kiri, Tahun 1 No. 1 Juli 2000, hal. 45
[3] Carl Stephenson, Medieval Feudalism, Cornell University Press, 1960.
[4] Antonina Yermikova, What Classes and Class Struggle, Progress Publisher, 1986.
[5] Doug Lorimer, Serangan Global Imperialisme dan Kemungkinan Perlawanannya”, Jurnal Kiri, Tahun 1 No. 1 Juli 2000, hal. 109.
[6] Lorimer, ibid, hal. 111
[7] Antonina Yermikova, Op.Cit, h.26
[8] Diskusi lebih lanjut tentang neo-liberalisme, lihat Martine Garcia dalam “Panduan Neo-liberalisme bagi Aktifis”.